PENDAHULUAN
Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya
yang berbhineka, negara Indonesia memiliki unsur–unsur kekuatan sekaligus
kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis
dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada
wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu
bangsa satu negara dan satu tanah air. Negara bagaikan suatu organisme. Ia
tidak bisa hidup sendiri. Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi oleh negara-negara
lain, terutama Negara-negara tetangga atau negara yang berada dalam satu
kawasan dengannya. Seperti kasus yang akan dibahas tentang perebuatn pulau
dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang masih berada satu kawasan dengan
Indonesia.Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat
Makassar yaitu pulau Sipadan (luas:
50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas:
18.000 meter²) dengan koordinat : 4°9′LU 118°53′BT.
Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN
namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk itulah diperlukan satu sistem
perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-negara yang letaknya
berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem politik tersebut dinamakan
geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara di sekitanya
tak terkecuali Indonesia.
Dalam hal ini, sebagai warga negara
Indonesia yang baik yang menerapkan geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan
menjaga keutuhan wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia
bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga
yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi
konflik perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi
konflik perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan yang terus
bergulir dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan
Ligitan. Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut berada
di wilayah perariran negara mereka masing-masing. Sehingga pada akhirnya kasus
ini menarik untuk saya bahas.
1.2.Rumusan
Masalah
a.
Langkah apa yang diambil
Malaysia dan Indonesia dalam
menyelesaikan sengketa kedaulatan diantara keduanya?
b.
Kenapa Indonesia kalah dalam kasus tersebut
padahal peluang Indonesia-Malaysia adalah fity-fifty?
c.
Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil
Indonesia untuk kedepannya jika mengatasi kasus yang sama?
Dalam hal ini pembahasan menegenai kasus
perebutan wilayah terbatas hanya pada kasus sengketa perebutan pulau Sipadan
dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia .
a.
Untuk memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan
b.
Untuk mengetahui sebab terjadinya konflik
perebutan pulau Sipadan dan Ligitan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Posisi Kasus
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk
pertama kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen
antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22 September 1969, karena
Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut. Sebelum 1969 kedua belah pihak
menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis
batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara.
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu
terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba terkejut ketika
pada bulan Oktober tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta
yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya
Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena
diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia
bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of
Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas
kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.
Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur
Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den
& Overbeck-BNBC-Malaysia.Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan
antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989.
Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak
berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral. Karena
itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah
Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah
Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut
kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997.
Melalui surat bersama perjanjian ini
kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2
November 1998.Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan
mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan
Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas
kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.Sedangkan
Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan
Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den&
Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa
kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan
kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus
mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan
klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan
pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. sampai memasuki tahap
penyampaian pembelaan lisan.Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama
pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat
terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua
pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia.
Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan
tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai
kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung
sampai 12 Juni 2002
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas
kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.
Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur
Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den
& Overbeck-BNBC-Malaysia.Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah
Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah
Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan
kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.Indonesia
menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas
menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given
pursuant to this Special Agreement as final and binding upon th.
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan
kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan
diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia
dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara,
seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang
menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru
sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara
anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial
Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme
penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme
regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal
perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan
domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi
(High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas
untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial.
Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan
hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar
maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya
Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar
Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan
diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan
para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana
bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan
lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang
sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan
pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun
melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun
1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti
historis terhadap klaim mereka masing-masing.
Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir
masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang
tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk
menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai.
Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak
Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan
manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan
kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh
Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun
infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita
seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan
melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri
dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat
tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah
mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama
dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan
hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih
lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk
setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah
internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan.
Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan
terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive
occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata
hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila
ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan
otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan,
tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya.
Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk
mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi
melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional.
Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi
perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun
ekonomi.Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami
Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka
peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara
militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah
kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya.
Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan
yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk
menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali
garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut
nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk
mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan
political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus,
pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan..
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka
memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara
merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim
berkait batas-batas nasional dan teritorial.Isu sekuritisasi maritim saat ini
masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu
ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal,
kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor
Timur dan Sipadan-Ligitan.Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada
tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi
ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi
jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan
peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata
pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat
utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu
melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL,
kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah
teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari
berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan
tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi
keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal
patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30
tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan
kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini,
tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional
primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama
dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah
Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik
kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar
alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak
memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk
memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum
internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian
pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain.
Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang
tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya,
terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah
Indonesia.
2.3.Teori
Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional
Teory mengenai metode penyelesaian sengketa
internasional (methods of international settlement disputes) di bagi dua
bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih jelasnya di jelaskan
seperti di bawah ini:
a.
Metode
Diplomasi (Diplomatic Method):
-
Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan
secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa
melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara
penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat
manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara
pertama dalam menyelesaikan sengketa.
-
Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak
pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk
meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk
menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta
pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini
biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan
dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan
berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan
mengenai kedudukan para pihak.
-
Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party)
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa
individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara
atau organisasi internasional.Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga terlibat tanpa
memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung dalam
perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah
yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain dan
merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk
saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa
baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger mengadakan
perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari 1973 untuk
mengakhiri Perang Vietnam.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices)
dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya dapat
disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak tidak
berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair bertindak
sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar
pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.
-
Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party)
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa
individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara
atau organisasi internasional.Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar
mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga
mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh:
mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia)
yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian
sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh
Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan
Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam
mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes
part in the negotiation).Determination made by third party is not
binding unless they have so agreed.
-
Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian
sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas
kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut
mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the
ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang
diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of
the commission is not binding).Contoh dari konsiliasi adalah
pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat
untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut
sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal
batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis
maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
b.
Penyelesaian
Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum
-
Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian
sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai
hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the settlement of
disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result
of an undertaking voluntarily accepted).
- Mahkamah Internasional
(International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan
peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang
sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional
(ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ)
yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang
baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ)
gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun
1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27
pendapat tidak mengikat (advisory opinion).Mahkamah Internasional (ICJ)
merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah
Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional
merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB
merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB:
Pakta (Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah
yang terpisah sama sekali.Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh
untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah
pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional
dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai
macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International
Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European
Court for Human Rights, dan lainnya.Penyelesaian sengketa internasional
melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak
yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para
pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang
digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para
pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang
bersengketa.
Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap
berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat
posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal
dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk
menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan
komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka
penyelesaian secara hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan
apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan.Untuk mencegah berulangnya
kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara lebih serius
masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan negara
tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah
Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang
sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas
wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia
bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga
bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk
mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya
Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang
sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan
bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali
ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia,
menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk
berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan
memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional.
Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial
Affairs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang
ahli di bidang hukum internasional. Namun, tidak seharusnya
ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya
diri.Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat
bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara
asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata
BAB III
KESIMPULAN
Penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan
di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini
adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.Sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh
Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia
di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia
berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo,
masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Ligitan.
Berbagai
pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan
atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua
negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua
pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan
merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan
Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau
Sipadan dan Ligitan.
Adolf Huala,
2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
Buana Satria
Mirza, 2007 , Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH unlam press:
Banjarmasin
http://putri-ayuniah.blogspot.com/2013/05/tugas-softskill-penelitian-ilmiah_9496.html
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dan
kelancaran dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Lepasnya Pulau
Sipadan dan Ligitan”. Tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk
mengetahui seberapa penting peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan
sengketa internasional antara ke dua Negara tersebut yaitu Indonesia dan
Malaysia serta mengetahui apa penyebab awal perebutan pulau-pulau tersebut.
makalah
ini disusun guna memenuhi kelengkapan tugas mata pelajaran PKn pada Semester
Genap sekaligus untuk memenuhi syarat mengikuti UKK Tahun Pelajaran 2013-2014.
Pada kesempatan
ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, baik bantuan
dalam bentuk moril ataupun material antara lain penulis yang mana tidak bisa
kami sebutkan satu persatu.
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik
yang membangun demi kesempurnaan pembuatan makalah ini untuk masa yang akan
datang.
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Banjarsari, April 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1.Latar
Belakang.................................................................................
1.2.Rumusan
Masalah............................................................................
1.3.Batasan
Masalah..............................................................................
1.4.Tujuan
Penulisan..............................................................................
BAB II
PEMBAHASAN................................................................................