Kamis, 05 Maret 2020

JANGAN RUBAH TAKDIRKU
 
Di setiap doaku
Di setiap air mataku
Selalu ada kamu
Di setiap kataku
Kusampaikan cinta ini
Cinta kita
'Ku tak akan mundur
'Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu
Mencintaiku
Tuhan, kucinta dia
Kuingin bersamanya
Kuingin habiskan nafas ini
Berdua dengannya
Jangan rubah takdirku
Satukanlah hatiku dengan hatinya
Bersama sampai akhir
Di setiap kataku
Kusampaikan cinta ini
O-oh, cinta kita
'Ku tak akan mundur
'Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu
Mencintaiku
Tuhan, kucinta dia
Kuingin bersamanya
Kuingin habiskan nafas ini
Berdua dengannya

Jumat, 17 Oktober 2014

GAMBAR ILUSTRASI



GAMBAR ILUSTRASI
No. Gambar
Tekhnik
Jenis Ilustrasi

http://mutiarakatadangambargambar.com/wp-content/uploads/2013/03/gambar-kartun-3-580x435.jpg

Gambar yang menampilkan kelucuan atau humor yang bertujuan menghibur. Gambar kartun dianggap berhasil jika dapat membuat orang tertawa atau setidaknya dapat membuat orang tersenyum.
Kartun

http://gambar.co/wp-content/uploads/2012/06/gambar-kartun-karikatur-politik-pajak-gayus.jpg

Gambar karikatur sama dengan gambar kartun. Bedanya, di samping menampilkan kelucuan, gambar karikatur juga berisi kritikan atau sindiran terhadap kepincangan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian karikatur juga berfungsi sebagai kontrol sosial. Pada umumnya karikatur menggambarkan wajah tokoh atau pemimpin.
Karikatur

https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRP01TgGwEfM5MYjKBj6-copmxRE84_bOo4BgDNfaJxnQ1bABL7
rangkaian gambar yang saling melengkapi dan mengandung suatu cerita. Dalam penyajiannya komik menceritakan sesuatu melalui gambar. Bahasa atau tulisan hanya sekedar pelengkap.

Komik
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjnNt5i_BoTejCRkOrlWi2h21PADb1n2jBLd7F-34IyNUODIv-OsCYQrmqpNIpscXvXVxINiCTFeze4bDfaznn3kejHPaap2ndnNmzF7VtKGP3tm9L39tBNwnqbU1oTdeYrfLeY8aP16ZO4/s1600/vignette.jpg

Vignet (baca = vinyet) sering kita jumpai dalam majalah yang fungsinya adalah untukmenghias dan mengisi ruang yang kosong. Bentuk vignet pada umumnya berupa gambar dekoratif. Vignet dapat juga dikembangkan menjadi bentuk seni dekoratif yang berdiri sendiri sebagai karya seni.

Vignette

http://panel.mustangcorps.com/admin/fl/upload/files/nagben.jpg
Dalam pelajaran sejarah untuk menjelaskan bentuk candi
borobudur akan lebih mudah jika mempergunakan gambar atau foto.
Ilustrasi karya sastra


http://wisnujadmika.files.wordpress.com/2013/02/menambal-baju.jpg

gambar ilustrasi yang memiliki bentuk dan warna sama dengan kenyataan yang ada di alam tanpa ada pengurangan atau penambahan
Naturalis

Drama 4 orang perempuan CERMIN PETUNJUK SIFAT BURUK



Cermin Penunjuk Sifat Buruk
Suasana di kamar seorang ratu sebuah kerajaan. Di kamar tersebut, banyak sekali cermin besar terpasang di dindingnya. Matahari baru saja terbit dan sinarnya masuk ke kamar membangunkan sang Ratu dari tidurnya. Ia segera bangun dan menghampiri salah satu cermin yang terpasang di dinding kamarnya. Sang Ratu tersenyum melihat bayangannya sendiri. Ia lalu duduk di atas tempat tidurnya. Ia mengambil sebuah cermin kecil bergagang yang tergeletak di atas sebuah meja. Ia memandangi bayangan dirinya sambil tersenyum. Tanpa sengaja sang Ratu menjatuhkan cermin yang dipegangnya, dan cermin itu pecah. Sang Ratu kaget dan marah.
Ratu                : “Pelayan… cepat ke sini!”
Pelayan            : “Aaaa-ada apa, Ratu?”
Ratu                : (menunjuk ke bawah) “Kau lihat, satu cermin milikku pecah, kalian harus segera mencari penggantinya!”
Pelayan             : (kebingungan) “Ke mana kami harus mencari nya, Ratu?”
Ratu                : “Aku tak mau tahu! Cepat kalian cari lagi cermin untuk ku!”  Pelayan itu lalu segera pergi ke pasar kota. Suasana pasar kota ramai. Pelayan berjalan menuju toko tempat sang Ratu biasa membeli cermin. Di sana ia segera menghampiri seorang penjual cermin  yang juga pemilik toko.
Pelayan            : “Kami sedang mencari sebuah cermin untuk sang Ratu. Dapatkah kau membantuku?”
Pemilik toko    : “Sebuah cermin? Bukankah sang Ratu telah me miliki banyak cermin?”
Pelayan            : “Tapi sekarang, sebuah cerminnya pecah dan sang Ratu ingin mendapatkan penggantinya.”
Pemilik toko : “Oh maaf,! Sejak dibeli oleh Ratu, cermin di sini sudah habis.”
Pelayan            : “Jadi, di mana lagi kami bisa menemukan toko yang menjual cermin?”
Pemilik toko    : (kebingungan) “Entahlah, aku pun sedang kesusahan mencari persediaan cermin untuk dijual.”
Pelayan itu lalu keluar dari toko cermin. Wajahnya penuh kebingungan. Ketika sedang berjalan, tanpa sengaja melihat seorang Nenek Tua yang sedang duduk di bawah pohon. Di dekatnya, bersandar sebuah cermin dengan bingkai kotak dari kayu. Pelayan menghampiri Nenek Tua itu.
Pelayan            : “Apakah cermin itu akan kau jual?”
Nenek Tua       : (menoleh ke cermin di sampingnya) “Benar, tapi sejak tadi tak juga ada orang yang mau membeli.”
Pelayan            : (tersenyum) “Kau mujur, sang Ratu akan membeli cerminmu.”
Nenek Tua       : (kaget) “Tapi, cermin itu bukan cermin biasa. Aku takut sang Ratu tidak menyukainya.”
Pelayan            : ( b e r k a t a s a m b i l membentak) “Cermin, ya, tetap cermin. Apa bedanya?”
Si Nenek Tua lalu berjalan menuju istana. Setibanya di istana,  Pelayan tersebut segera mengantarkan si Nenek Tua ke hadapan Ratu.
Ratu                : “Apakah cermin itu milikmu?”
Nenek Tua       : (berkata dengan takut) “Benar Ratu, tapi hamba ragu kalau Ratu menyukai cermin ini.”
Sang Ratu menghampiri cermin milik Nenek Tua tersebut. Ia segera berkaca. Tapi tiba-tiba, mukanya berubah pucat pasi.
Ratu                : “Hah…”
Nenek Tua       : (berkata sambil menunduk) “Maaf Ratu, cermin itu memang bukan cermin biasa. Cermin itu dapat menunjukkan sisi buruk seseorang.”
Ratu                : (memandang ke arah Nenek Tua) “Lalu, apa maksudnya cermin itu menunjukkan ada banyak ulat di wajahku?”
Nenek Tua       : “Ulat itu adalah lambang dari keserakahan Ratu.”
Ratu                : (marah) “Kau ingin bilang kalau aku serakah?”
Nenek Tua       : “Hamba hanya mengingatkan. Selama ini, Ratu sering membeli barang berlebih walaupun se benarnya tidak begitu penting.”
Ratu                : “Aku memang mempunyai banyak cermin. Apakah itu serakah?”
Nenek Tua       : “Hamba tahu, tanpa cermin pun Ratu tetap terlihat cantik. Tapi, jangan sampai itu membuat Ratu lupa akan rakyat yang Ratu pimpin.”
Ratu                : (terdiam sejenak mendengar jawaban Nenek Tua. Ia tersenyum) “Kau benar nenek tua. Aku memang telah melupakan tanggung jawabku kepada rakyat. Apakah aku harus membuang semua cermin milikku?”
Nenek Tua : “Lebih baik diberikan kepada rakyat saja. Agar setiap kali mereka bercermin, mereka akan selalu teringat pada Ratu mereka yang bijaksana.”
Ratu mengangguk-angguk. Ia bahagia mendengar jawaban Nenek Tua tersebut.
Ratu                : “Lalu, bolehkah aku meminta cermin milikmu ini?”
Nenek Tua       : “Untuk apa? Bukankah cermin ini dapat membuat Ratu takut?”
Ratu                : “Dengan cermin ini, aku berharap dapat memperbaiki sisi buruk yang ada dalam hatiku.”
Nenek Tua itu tersenyum dan memberikan cerminnya pada sang Ratu. Sejak saat itu, tak ada lagi seribu cermin yang menghias istana sang Ratu. Hanya ada satu cermin yang tersisa di istana, yaitu cermin penunjuk sifat buruk.

Rabu, 23 April 2014

Makalah Lepasnya Pulau sipadan dan ligitan



PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang berbhineka, negara Indonesia memiliki unsur–unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam satu bangsa satu negara dan satu tanah air. Negara bagaikan suatu organisme. Ia tidak bisa hidup sendiri. Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi oleh negara-negara lain, terutama Negara-negara tetangga atau negara yang berada dalam satu kawasan dengannya. Seperti kasus yang akan dibahas tentang perebuatn pulau dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang masih berada satu kawasan dengan Indonesia.Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat : 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem politik tersebut dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara di sekitanya tak terkecuali Indonesia.
 Dalam hal ini, sebagai warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan geopolitik wajib ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di Indonesia bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi konflik perebutan kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan yang terus bergulir dalam konflik perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan Ligitan. Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut berada di wilayah perariran negara mereka masing-masing. Sehingga pada akhirnya kasus ini menarik untuk saya bahas.

1.2.Rumusan Masalah
a.       Langkah apa yang diambil Malaysia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan diantara keduanya?
b.      Kenapa Indonesia kalah dalam kasus tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia adalah fity-fifty?
c.       Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya jika mengatasi kasus yang sama?

Dalam hal ini pembahasan menegenai kasus perebutan wilayah terbatas hanya pada kasus sengketa perebutan pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia .

a.       Untuk memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan
b.      Untuk mengetahui sebab terjadinya konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Posisi Kasus
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut. Sebelum 1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. 
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober  tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral. Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997.
Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998.Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris.Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den& Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this Special Agreement as final and binding upon th.

2.2.Pembahasan
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.
Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing.
Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan..
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
2.3.Teori Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional
Teory mengenai metode penyelesaian sengketa internasional (methods of international settlement disputes) di bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih jelasnya di jelaskan seperti di bawah ini:
a.      Metode Diplomasi (Diplomatic Method):
-          Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
-          Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan para pihak.
-          Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari 1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya dapat disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.
-          Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.
-          Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.

b.      Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum
-          Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted).
-       Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ) gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27 pendapat tidak mengikat (advisory opinion).Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta (Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama sekali.Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal CourtInternational Tribunal on the Law of the SeaEuropean Court for Human Rights, dan lainnya.Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.
2.4.Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika Mengatasi Kasus yang Sama
Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan.Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional. Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum internasional. Namun,  tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri.Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata


BAB III
KESIMPULAN

Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.










Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.

Buana Satria Mirza, 2007 , Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH unlam press: Banjarmasin

http://putri-ayuniah.blogspot.com/2013/05/tugas-softskill-penelitian-ilmiah_9496.html






















KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan”. Tujuan penulis menyusun makalah ini adalah untuk mengetahui seberapa penting peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional antara ke dua Negara tersebut yaitu Indonesia dan Malaysia serta mengetahui apa penyebab awal perebutan pulau-pulau tersebut.
            makalah ini disusun guna memenuhi kelengkapan tugas mata pelajaran PKn pada Semester Genap sekaligus untuk memenuhi syarat mengikuti UKK Tahun Pelajaran 2013-2014.
Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini, baik bantuan dalam bentuk moril ataupun material antara lain penulis yang mana tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
     Dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada berbagai pihak yang membutuhkannya. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan pembuatan makalah ini untuk masa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Banjarsari,   April 2014
Penyusun






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1.1.Latar Belakang.................................................................................
1.2.Rumusan Masalah............................................................................
1.3.Batasan Masalah..............................................................................
1.4.Tujuan Penulisan..............................................................................
1.5.Metode dan teknik penulisan...........................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
BAB III KESIMPULAN