Cermin Penunjuk Sifat Buruk
Suasana di kamar seorang ratu sebuah
kerajaan. Di kamar tersebut, banyak sekali cermin besar terpasang di
dindingnya. Matahari baru saja terbit dan sinarnya masuk ke kamar membangunkan
sang Ratu dari tidurnya. Ia segera bangun dan menghampiri salah satu cermin
yang terpasang di dinding kamarnya. Sang Ratu tersenyum melihat bayangannya
sendiri. Ia lalu duduk di atas tempat tidurnya. Ia mengambil sebuah cermin
kecil bergagang yang tergeletak di atas sebuah meja. Ia memandangi bayangan
dirinya sambil tersenyum. Tanpa sengaja sang Ratu menjatuhkan cermin yang
dipegangnya, dan cermin itu pecah. Sang Ratu kaget dan marah.
Ratu
: “Pelayan… cepat
ke sini!”
Pelayan
: “Aaaa-ada apa, Ratu?”
Ratu
: (
menunjuk ke
bawah) “Kau lihat, satu cermin milikku pecah, kalian harus segera mencari
penggantinya!”
Pelayan
: (
kebingungan) “Ke mana kami harus
mencari nya, Ratu?”
Ratu
: “Aku tak mau
tahu! Cepat kalian cari lagi cermin untuk ku!”
Pelayan itu lalu
segera pergi ke pasar kota. Suasana pasar kota ramai. Pelayan berjalan menuju
toko tempat sang Ratu biasa membeli cermin. Di sana ia segera menghampiri
seorang penjual cermin yang juga pemilik
toko.
Pelayan
: “Kami sedang mencari
sebuah cermin untuk sang Ratu. Dapatkah kau membantuku?”
Pemilik toko
: “Sebuah cermin?
Bukankah sang Ratu telah me miliki banyak cermin?”
Pelayan
: “Tapi sekarang,
sebuah cerminnya pecah dan sang Ratu ingin mendapatkan penggantinya.”
Pemilik toko : “Oh maaf,! Sejak dibeli oleh Ratu, cermin di sini sudah
habis.”
Pelayan
: “Jadi, di mana
lagi kami bisa menemukan toko yang menjual cermin?”
Pemilik toko
: (
kebingungan)
“Entahlah, aku pun sedang kesusahan mencari persediaan cermin untuk dijual.”
Pelayan itu lalu keluar dari toko cermin. Wajahnya penuh kebingungan.
Ketika sedang berjalan, tanpa sengaja melihat seorang Nenek Tua yang sedang
duduk di bawah pohon. Di dekatnya, bersandar sebuah cermin dengan bingkai kotak
dari kayu. Pelayan menghampiri Nenek Tua itu.
Pelayan
: “Apakah cermin itu
akan kau jual?”
Nenek Tua
: (
menoleh ke
cermin di sampingnya) “Benar, tapi sejak tadi tak juga ada orang yang mau
membeli.”
Pelayan
: (
tersenyum) “Kau mujur, sang Ratu akan membeli
cerminmu.”
Nenek Tua
: (
kaget)
“Tapi, cermin itu bukan cermin biasa. Aku takut sang Ratu tidak menyukainya.”
Pelayan
: (
b e r k
a t a s a m b i l membentak) “Cermin, ya, tetap cermin. Apa bedanya?”
Si Nenek Tua lalu berjalan menuju istana. Setibanya di istana, Pelayan tersebut segera mengantarkan si Nenek
Tua ke hadapan Ratu.
Ratu
: “Apakah cermin
itu milikmu?”
Nenek Tua
: (
berkata dengan takut)
“Benar Ratu, tapi hamba ragu kalau Ratu menyukai cermin ini.”
Sang Ratu menghampiri cermin milik Nenek Tua tersebut. Ia segera
berkaca. Tapi tiba-tiba, mukanya berubah pucat pasi.
Ratu
: “Hah…”
Nenek Tua
: (
berkata sambil
menunduk) “Maaf Ratu, cermin itu memang bukan cermin biasa. Cermin itu
dapat menunjukkan sisi buruk seseorang.”
Ratu
: (
memandang
ke arah Nenek Tua) “Lalu, apa maksudnya cermin itu menunjukkan ada banyak
ulat di wajahku?”
Nenek Tua
: “Ulat itu adalah
lambang dari keserakahan Ratu.”
Ratu
: (
marah)
“Kau ingin bilang kalau aku serakah?”
Nenek Tua
: “Hamba hanya
mengingatkan. Selama ini, Ratu sering membeli barang berlebih walaupun se
benarnya tidak begitu penting.”
Ratu
: “Aku memang
mempunyai banyak cermin. Apakah itu serakah?”
Nenek Tua
: “Hamba tahu, tanpa
cermin pun Ratu tetap terlihat cantik. Tapi, jangan sampai itu membuat Ratu
lupa akan rakyat yang Ratu pimpin.”
Ratu
: (
terdiam
sejenak mendengar jawaban Nenek Tua. Ia tersenyum) “Kau benar nenek tua.
Aku memang telah melupakan tanggung jawabku kepada rakyat. Apakah aku harus
membuang semua cermin milikku?”
Nenek Tua : “Lebih baik diberikan kepada rakyat saja. Agar setiap kali
mereka bercermin, mereka akan selalu teringat pada Ratu mereka yang bijaksana.”
Ratu mengangguk-angguk. Ia bahagia mendengar jawaban Nenek Tua tersebut.
Ratu
: “Lalu, bolehkah
aku meminta cermin milikmu ini?”
Nenek Tua
: “Untuk apa? Bukankah
cermin ini dapat membuat Ratu takut?”
Ratu
: “Dengan cermin
ini, aku berharap dapat memperbaiki sisi buruk yang ada dalam hatiku.”
Nenek Tua itu tersenyum dan memberikan cerminnya pada sang Ratu. Sejak
saat itu, tak ada lagi seribu cermin yang menghias istana sang Ratu. Hanya ada
satu cermin yang tersisa di istana, yaitu cermin penunjuk sifat buruk.